
Jakarta – Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, kota yang penuh dengan segala problematika, Hadir sebuah yaitu Aliansi Perjuangan Keadilan Rakyat Tanimbar (APKRT). Aliansi ini datang dari suara jeritan masyarakat Tanimbar yang ada di perbatasan antara Indonesia dan Australia, Karena keterpanggilan sebagai anak negeri, anak Duan dan Lolat mereka hadir di ibu kota Jakarta demi memperjuangkan. hak hak masyarakat adat Tanimbar. Aliansi ini menuding pada pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) LNG Blok Masela ini di dalamnya sarat dengan kejanggalan. Proyek migas raksasa senilai US$20,94 miliar atau sekitar Rp345,5 triliun itu dinilai berjalan dengan pola eksploitatif, minim transparansi, dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat Tanimbar.
“Situasi ini kalau dibiarkan, akan melanggengkan ketimpangan dan diskriminasi di tanah sendiri,” tegas Marwan Das Masela, salah satu presidium APKRT, dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi.
APKRT menilai proses pembebasan lahan di Desa Lermatang penuh dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Harga lahan hanya ditetapkan Rp 14 ribu per meter persegi, jika di bandingkan dengan harga rokok sebungkus, masi jauh lebih tinggi harga rokok ketimbang harga tanah, jauh di bawah ketentuan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2023 yang mematok nilai wajar hingga Rp350 ribu per meter untuk investor asing.
Padahal, lahan tersebut berstatus tanah adat yang telah memiliki sertifikat hak milik turun-temurun.
“Tanah adat Lermatang itu sudah ada sertifikat dan menjadi wilayah hukum adat sejak sebelum Indonesia merdeka,” ujar Alberth Watumlawar (46) dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD Kepulauan Tanimbar, 21 Agustus lalu.
Kisruh ini sempat berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung, yang pada akhirnya memenangkan pihak Inpex Masela Ltd, perusahaan migas asal Jepang ini.
,”Putusan tersebut membuat warga Lermatang kecewa berat. “Harga Rp14 ribu per meter itu sangat dan sangat tidak manusiawi,” tegas Simon Batmamolin, Koordinator Aksi APKRT kepada media ini.
APKRT menuding, ada juga praktik KKN yang mewarnai proses pengadaan lahan hingga rekrutmen tenaga kerja.
Mereka menyoroti peran Puri Minari, Senior Manager Communication and Relation Inpex Masela, yang diduga terlibat dalam praktik korupsi dan nepotisme di lapangan.
“Janji penyerapan tenaga kerja lokal hanya isapan jempol. Inpex justru akan mendatangkan 10.000 pekerja dari luar daerah, sebagaimana disampaikan langsung oleh Presiden & CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda pada 10 April 2025 lalu,” ungkap Batmamolin.
Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan.
“Artinya, kita disuruh jadi penonton di tanah sendiri. Dengan angka pengangguran dan kemiskinan ekstrem tertinggi di Maluku, itu sama saja menabur bara konflik sosial di Tanimbar,” ujarnya.
Ia menjelaskan dari Data BPS Mei 2024 mencatat, dari total 132.317 jiwa penduduk Tanimbar, sekitar 20.920 jiwa (18,64%) hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tanimbar tercatat terendah di Maluku, hanya 67,69, jauh di bawah Ambon (83,37).
APKRT juga menyoroti ketidakjelasan pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dinilai tidak transparan dan tidak berpihak pada rakyat.
“Sampai hari ini, belum ada kebijakan CSR yang menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik, air bersih, dan program bagi warga miskin ekstrem,” bunyi pernyataan resmi APKRT.
Lebih ironis, tidak ada satu pun SDM lokal yang menempati jabatan strategis di Inpex Masela.
“Ini menabrak prinsip keadilan sosial dan mengikis kepercayaan publik terhadap proyek yang sejak awal dijanjikan membawa kemakmuran,” tambah Lambertus Batmetan, Ketua BPD Lermatang.
Isu paling krusial muncul saat pemerintah pada 2018 menetapkan tanah adat Lermatang sebagai kawasan hutan produktif, tanpa konsultasi dengan warga.
Status ini menutup akses masyarakat adat atas tanah mereka dan membuka jalan bagi pembebasan lahan besar-besaran oleh Inpex.
Tokoh adat Bram Rangkoly (60) menolak keras kebijakan itu.
“Petuanan Lermatang sangat jelas, ini tanah adat, bukan hutan negara,” ujarnya.
Penolakan juga datang dari Penjabat Kepala Desa Lermatang, Efraim Lambiombir, yang enggan menandatangani pelepasan lahan sebelum ada kejelasan hukum.
“Biarlah kepala desa definitif yang memutuskan. Kami tak ingin konflik sosial di masa depan,” tegasnya.
APKRT menegaskan, masyarakat Tanimbar tidak menolak proyek LNG Masela, melainkan menuntut pelaksanaannya yang adil dan menghargai hak adat.
“Kami mendukung penuh Blok Masela, sepanjang menghargai dan mengakomodir hak serta aspirasi masyarakat,” ujar Marwan Das Masela.
Sebagai langkah lanjutan, APKRT akan menggelar aksi di gedung KPK, Jumat pekan ini.
Mereka akan menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya:
Mendesak INPEX dan SKK Migas tidak melibatkan pemerintah daerah dalam intervensi kontraktor dan subkontraktor.
Meminta Owner INPEX di Jepang serta Presiden Inpex Corporation mencopot Puri Minari dari jabatan Senior Manager Communication and Relation.
Mengusut dugaan KKN dalam penetapan harga tanah yang mengabaikan hak masyarakat adat.
Menghentikan praktik nepotisme dalam rekrutmen tenaga kerja dan memastikan prioritas bagi pekerja lokal.
Menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana CSR dan Mendesak keterlibatan UMKM dan pengusaha lokal dalam proyek Blok Masela.
“Blok Masela harus menjadi berkah, bukan kutukan. Kalau tidak, rakyat Tanimbar siap melawan demi hak mereka di tanah sendiri,” tutup Simon Batmamolin.(**)





