
Saumlaki _ Tindakan otoriter yang dilakukan oleh Bupati Kepulauan Tanimbar Ricky Jawerisa, melalui Kabag hukumnya Ricky Malisngoran yang bertindak mempolisikan rakyat sipil pejuang “sepiring nasi” keluarga di Bumi Duan Lolat. Mendapat kecaman keras baik dari rakyat Aktifis maupun dari akademisi.
Kali ini Kritikan pedas datang dari seorang Tokoh muda Akademisi handal di Universitas Lelemuku Saumlaki, dia adalah Mekitekson Melayaman, S.Sos.,M.IP, sesuai rilis yang di dapat oleh media ini Akademisi beken ini mengatakan bahwa, sikap arogansi bupati tersebut menunjukan siapa dirinya yang sebenarnya. Dimana bupati sendiri tidak memahami hakekatnya demokrasi itu dendiri, karena ia lahir dari demokrasi yang hybrida.
Dari pengamatannya, rezim Hibrida atau demokrasi semu ini sementara ini sedang dibangun di tanah Duan Lolat. Hal ini menunjukan bahwa demokrasi di Tanimbar sudah menuju kegentingan yang gawat.
“Kita bisa lihat rezim hybrida ini mulai dibangun. Dan ini membahayakan demokrasi. Coba kita amati dengan baik, sejak aksi demo 100 hari kerja bupati dan wakil yang ditagih janjinya oleh rakyat. Ketika rakyat bertanya, malah yang disalahkan pemerintahan sebelumnya. Padahal yang susun program 100 hari kerja kan tim dan bupati serta wakilnya kan. Sekarang kian terang dengan proses hukum terhadap rakyatnya sendiri dan tidak konsisten,” tandas Wakil Dekan FISH Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Unlessa ini.
Bahkan, kepemimpinan Ricky Jawerisa saat ini dinilai mulai menggunakan tangan besi dalam menjalankan roda pemerintahannya.
“Nilai fasilitas publik seperti kaca jendela kantor BKPSDM, tidak sebanding dengan gumulan yang tak terhenti dan pengharapan yang telah mati oleh rakyatnya, oleh mereka yang keringatnya jatuh tuk mengabdi bagi Pemda tapi terabaikan bahkan sekarang teraniaya,” ucapnya.
Jika demokrasi hybrida ini terus dibangun, maka akan berdampak pada ketidakstabilan politik dan sosial, peningkatan ketimpangan dan korupsi, serta melemahnya partisipasi dan kepercayaan publik. Dan hal ini sudah terlihat jelas menuju kearah ketimpangan.
“Rezim Hibrida yang mulai dibangun itu kan mengaburkan batas antara demokrasi dan otoritarianisme. Kritik terhadap pemerintah dibatasi, menciptakan pemerintahan yang terasa hampa demokrasi.
“Jika dikomparasikan dengan Ibu Wakil Bupati dan Sekda yang baru dilantik, kedewasaan berdemokrasi jauh berbeda. Itu sebabnya, mereka berdua yang sering berhadap-hadapan dengan aksi protes, sengketa lahan, P3K dan sebagainya. Sedangkan Bupati lebih memilih melakukan jalan-jalan ke luar daerah. Mereka selalu merangkul sebagai orang tua, sebagai orang Tanimbar, duan dan lolat,” tegas Melayaman yang menambahkan, mestinya Bupati Ricky sadar, bahwa sederetan aksi protes pada kepemimpinan sebelumnya memiliki hubungan erat dengan orang-orang dekatnya hari ini. Jadi ini hukum tabur tuai atau karma. (**)





